Jumat, 02 Mei 2008

Kapitalisme Ekonomi Syariah

Dekade ini boleh jadi periode keemasan bagi ekonomi syariah, terutama di Indonesia. Sejak tahun 2000 silam tak kurang 50 lembaga ekonomi berbasis syariah tumbuh dengan suburnya. Hal ini sangat wajar mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sayangnya, di tengah gemebyar syariah, terselip berbagai kelemahan dan penyimpangan. Apalagi disinyalir lebih dari 80% dari lembaga yang ada belum mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah secara utuh.

Kesalahan pertama adalah produk-produk syariah yang dipasarkan justru didominasi oleh produk-produk konsumsi. Murabahah, atau jual beli, entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan, dan sebagainya mendominasi tak kurang dari 70% produk syariah yang ada. Tak beda dengan kredit konsumsi tradisional. Hanya saja elemen bunga disamarkan dengan elemen biaya dan marjin profit. Mestinya, kalau mau fair, produk-produk lain seperti mudharabah, musyarakah, isthisma’, juga tak kalah gencarnya dipasarkan.

Dalam beberapa hal, masyarakat juga sering mengalami kesulitan dalam mengakses produk-produk syariah tersebut. Dengan persyaratan yang rumit serta birokrasi yang berbelit, lembaga syariah bergeser menjadi menara gading yang sulit dijangkau kaum grass root. Padahal, sejatinya, ekonomi syariah lahir untuk mewadahi kaum bawah tersebut.

Beberapa kalangan juga sering mengkritisi sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembentukan dan penunjukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Seringkali lembaga-lembaga tersebut dicap sebagai produk formalitas belaka mengingat standardisasi skill dan capabilities orang-orang didalamnya tidak jelas. Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya.

Di lembaga syariah sendiri, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah, sejatinya membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun pada prakteknya, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif.

Celakanya, kekurangan-kekurangan ini makin diperburuk dengan sikap lembaga keuangan yang ada. Mereka memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan.

Lebih parah lagi, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, tentunya keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbol-simbol syariah untuk kepentingan pemilik modal.

Pada prinsipnya ekonomi islam atau akuntansi syariah akan membangun peradaban manusia di dunia untuk lebih memiliki rasa kebersamaan, keterbukaan dan berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip moral islam dalam semua hal, termasuk dalam dunia bisnis dan perbankan.
Dalam PSAK No 59 tentang akuntansi perbankan syariah telah diatur tentang pengakuan, pengukuran dan penyajian dari semua jenis transaksi yang terkait tentang sistem keuangan perbankan syariah. Secara filosofis semua jenis transaksi tersebut sudah mencoba dalam semua hal bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist.
Namun dalam prakteknya, kita jumpai bahwa tidak semua jenis transaksi (proudk bank) diterapkan secara seimbang oleh lembaga keuangan perbankan syariah, mungkin hal ini disebabkan oleh beberapa kendala antara lain keterbatasan SDM yang memahami secara benar tentang prinsip syariah, keterbatasan sumber dana untuk setiap jenis transaksi (misalnya sumber dana berasal untuk pembiayan Qardh dan qhardul hasan tidak tersedia), penilaian kinerja manajemen bank yang belum sepenuhnya berdasarkan prinsip syariah, penerapan prinsip syariah yang masih setengah hati, keterbatasan jumlah SDM sehingga sulit untuk memantau para nasabah yang telah menerima pembiayaan sesuai akadnya, dan sabagainya.
Saya sependapat dengan pandangan sebelumnya bahwa meskipun lembaga keuangan bank di Indonesia sudah berlabel bank syariah tapi dalam praktiknya untuk pengukuran/penghitungan bagi hasil (profit and loss sharing) tidak jauh berbeda dengan bank konfensional pada penerapan bunga (bunga=riba) bahkan mungkin tidak lebih syar’i (?) jika dibandingkan dengan bank konfensional (dalam bank syariah dikemas dengan istilah margin % tertentu yang jika dikonfersi nilai angsuran/cicilan pada pembiayaan kredit kok malah tidak berbeda dan malah lebih besar).
Untuk jenis tabungan wadiah dan mudharabah yang diterapkan oleh BTN menurut saya relatif sudah syar’i (memenuhi prinsip syariah).
Yang perlu dicermati lagi adalah masalah akad pembiayaan kredit dan pelaksanaan di lapangan, termasuk sistem penerapan agunan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, usaha kecil, prosedur, dan sebagainya. Yang saya temui di lapangan ternyata persyaratan dan pelaksanaannya juga masih banyak hal yang sama dan tidak jauh berbeda dengan yang di terapkan pada bank konvensional.
Pola pikir dan pemahaman terhadap prinsip syariah yang dimiliki oleh staf pelaksana bank syariah yang cenderung berpola pikir orientasi bisnis pada lembaga bank konvensional (dan hal ini keliru), mengakibatkan persepsi masyarakat awam terhadap keberadaan bank syariah di Indonesia menjadi keliru juga, sehingga terbangun suatu imej bahwa bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank konvensional berarti sama dengan menerapkan bunga (=haram?).
Intinya, saya tetap berharap agar lembaga keuangan/bank syariah di Indonesia tetap bisa maju dan berkembang, dan semua direksi dan staf bank syariah memiliki komitmen yang kuat dalam penerapan prinsip syariah secara benar, sehingga menjadi lembaga keuangan bank syariah yang kuat, berkeadilan, dapat menyantuni usaha kecil dan kaum dhuafa agar bisa berusaha mandiri dan hidup wajar, serta tidak ditinggalkan oleh masyarakat muslim.
Semoga bermanfaat.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda